Aku
dan Cita-citaku yang Pupus
Arifah
muji
Sebenarnya
cita-citaku ingin menjadi menteri pemberdaya perempuan, aku ingin bekerja di
Komnas Perempuan, Aku ingin menjadi aktivis, Aku ingin menuntut hak-hak kaum
wanita, yang kebanyakan belum terealisasikan di negara ini. Aku ingin mengubah
persepsi kebanyakan orang tentang wanita,
wanita selalu dinomorduakan derajatnya dengan kaum laki-laki, menurutku
itu tidak adil. Mereka pikir, wanita adalah kaum yang lemah, mudah menangis,
mudah merajuk. Ah.... kenapa wanita dipandang begitu rendah. Aku ingin menjadi
wanita yang tangguh, menjadi aktivis, menjadi wanita yang mempunyai pengalaman
banyak, bisa membantu orang banyak bisa pergi kemana saja aku mau. Tapi karena
penyakit yang menggerogoti kulitku inilah yang membuatku tidak sebebas
wanita-wanita lain, aku ingin seperti mereka, bisa pergi bebas, bebas pergi
kemana saja sesuka hatiku, berpetualang, mengetahui banyak hal tentang dunia
luar.
Sedangkan Aku,
Aku harus berhenti kuliah, Dokter tidak membolehkan Aku kuliah, karena
penyakitku akan semakin parah dalam waktu yang cepat. Apalagi ibu bapakku,
mereka menginginkan agar aku di rumah saja. Orangtuaku tidak menginginkan Aku
semakin sakit, sehingga Aku diharamkan untuk keluar rumah, kecuali untuk chek
up ke Dokter. Itu saja harus malam hari, Aku tidak boleh terkena Matahari
sedikitpun. Karena kalau terkena Matahari sedikit saja, kulitku langsung terasa
sakit, dan rasa sakit kulitku harus Aku
rasakan hingga berhari-hari. Tuhan, sampai kapankah Aku menderita seperti ini,
karena penyakit ini Aku tidak bisa meraih cita-citaku, aku tidak bisa kuliah, aku
harus berhenti kuliah dari jurusan PAI, jurusan yang aku impikan sejak Aku
kelas 3 SMP. Aku ingin menjadi Guru Agama, minimal guru bagi diriku sendiri dan
bagi anak-anakku, tapi kanker kulitku ini, membuat semua cita-citaku ini sirna.
Aku sangat
kesepian. Tiap pagi sampai sore bahkan sampai malam, Aku hanya sendirian,
karena ibu bapakku harus bekerja banting tulang untuk menyambung hidupku yang
mungkin tidak akan bertahan lebih lama lagi.
Aku rindu memiliki kakak dan adik, tapi kerinduanku ini mungkin tidak
akan terbayarkan hingga Aku mati nanti, karena kenyataannya Aku adalah anak
pertama, dan untuk punya Adik kemungkinan besar juga tidak bisa. Karena ibuku
terkena kanker rahim dan sudah tidak bisa mempunyai anak lagi, rahim ibuku
sudah diangkat ketika aku umur 5 tahun, sedangkan bapakku, beliau tidak ingin
menikah lagi kecuali dengan Ibuku.
Lalu kemana
perginya teman-temanku itu??????. Setelah aku lulus dari Madrasah Aliyah dan
bisa kuliah dijurusan yang Aku inginkan, walaupun hanya beberapa bulan saja Aku
kuliah, karena harus keluar kuliah dikarenakan Aku terdiagnosa menderita kanker
kulit, dan tidak boleh terkena sinar matahari, lalu mereka hilang seperti
ditelan bumi, jarang sekali mereka sms dan telpon Aku. Kalaupun Aku yang sms
mereka, mereka juga jarang balas sms ku, hanya beberapa teman saja yang masih
peduli dengan Aku. Mungkin teman-temanku sudah memiliki kesibukan sendiri,
mereka sibuk dengan dunia barunya dan cita-citanya. Tidak seperti Aku, yang
hanya menyelami kesedihanku lewat catatan catatan kecilku di rumah yang begitu
mungil ini. Aku selalu mencurahkan segala kesedihanku dan kegalaunku lewat
tulisan-tulisan yang Aku tulis di buku maupun di Laptop. Dan, Hal yang tidak
pernah Aku tinggalkan setiap harinya, Aku selalu mencurahkan segala isi hatiku
ini, kepada siapa lagi kalo bukan kepada Rabbku, Allah swt. Allah tidak pernah
protes ketika Aku mengeluh dan meratapi kehidupanku ini, Allah selalu berbisik
kepadaku, kalau Aku tidak sendirian. Allah selalu mengatakan Dia selalu ada di
hatiku.
Terkadang
hari-hariku hanya ku habiskan untuk nonton televisi ataupun browsing lewat
internet, mungkin dengan cara itulah jiwaku bisa melanglang buana ke seluruh
penjuru dunia walaupun tubuhku tetap di rumah. Sebenarnya Aku iri dengan
kaum-kaum perempuan yang aktif, tidak hanya di rumah saja, Aku ingin seperti
mereka pejuang wanita, yang mati-matian membela kaum wanita yang tertindas, Aku
ingin seperti mereka kaum wanita yang
berjuang untuk melawan ketidakadilan Gender. Tidak seperti ini, hanya berdiam
diri di rumah. Aku merasa aku adalah mayat hidup, yang masih bernyawa.
Aku sangat
mengagumi R.A kartini, beliau adalah salah satu inspiratorku, yang membuatku
bercita-cita menjadi seorang Guru Agama, Seorang Aktivis, bahkan cita-citaku
yang sangat konyol ialah ingin menjadi Menteri pemberdaya perempuan, bagiku itu
tidak mungkin, kuliah saja harus keluar. Bagaimana mau jadi menteri??. Ya
Allah, lalu aku harus jadi apa, agar aku tidak miskin cita-cita hanya karena
penyakit ini? rintihku dalam hatiku. Aku juga mengagumi sosok wanita yang
sangat hebat selain R.A Kartini, beliau adalah sebaik-baik wanita, beliau
adalah bunda Aisyah istri Rasulullah, beliau istri sholehah, juga pejuang
islam. Aku ingin seperti bunda Aisyah, menjadi pejuang agama islam dan juga
menjadi Istri sholehah, aku kembali termenung dalam kesedihan, bagaimana mungkin
aku menjadi istri sholehah? Laki-laki yang mencintaiku saja mungkin tidak ada,
kecuali bapakku. Bagaimana mungkin aku dipersunting seorang laki-laki dan
menikah dengannya, kalau aku ini penyakitan. dan sebentar lagi aku mati. Sebenarnya
aku mencintai seseorang, dia kakak tingkatku dulu waktu kuliah. Tapi, aku harus
sadar diri, Aku tak mungkin memilikinya. Aku cukup mencintainya dalam diam
saja, sebenarnya sakit sekali.
Aku kembali
merintih, ya Allah kalaupun aku harus mati dalam keadaan belum memiliki
pendamping hidup dan belum bisa menjadi istri sholehah, semoga di akhirat nanti,
Engkau memberikan aku jodoh, seorang
pangeran yang bermata jeli dan baik hati.
Aku juga
merindukan masa-masa dimana aku ngaji di TPA kampungku, mengajar adik-adik TPA
yang lucu-lucu, belajar Al quran, belajar kitab kuning, belajar Fiqh yang
dibimbing langsung oleh bapak kyai. Andaikan Aku bisa melakukan aktivitas
seperti dulu. Dan sore itu, ketika matahari sudah tenggelam di ufuk barat, Aku
beranikan diri datang ke TPA, aku kangen dengan semuanya, aku kangen masa-masa
itu. Sesampainya aku di TPA, Aku bagaikan orang asing di tempat itu, Aku seperti
tersesat di sebuah tempat. di tempat ini, Aku seperti tidak ada, tidak
dianggap, mungkin mereka jijik bertemu denganku gadis penderita kanker kulit.
Ya Allah adilkah ini??. lagi-lagi aku merintih dalam hati, kenapa Aku yang terserang
penyakit ini?? padahal Aku tidak pernah memakai zat-zat kimia untuk melukai
kulitku, Aku juga tidak suka memakai make up, dan sejak aku masuk SMP aku juga
sudah menutup aurat, kulit ku tidak pernah tersengat matahari langsung, tapi
kenapa Aku yang terkena penyakit ini, kenapa bukan orang lain saja yang
berpakaian hampir telanjang.
Untung saja
bapak kyai dan Ibu Nyai menyambut kedatanganku dengan hangat, bahkan bisa
dikatakan mereka menyambutku dengan istimewa. Bahkan bu nyai yang merupakan
lulusan S1, jurusan Sastra Indonesia di salah satu perguruan Tinggi di
Yogykarta. Beliau juga tahu, kalo aku
sering nnulis di rumah, pasti yang ngasih tau ibuku ini, siapa lagi kalo bukan
ibu. Bu nyai juga memaksa aku agar aku bersedia memperlihatkan tulisanku kepada
beliau, tapi aku tidak bersedia, sapertinya rasa percaya diriku ini sudah
terrenggut oleh penyakit yang aku derita ini. Aku mengalami krisis percaya diri.
Selain R.A.
Kartini dan Bunda Aisyah, aku juga sangat mengagumi beberapa penulis wanita di
Indonesia, seperti Pipet Senja dan Asma Nadia, mereka juga salah satu
inspiratorku yang membuatku suka menulis, walaupun tidak ada yang tahu hasil karya tulisanku,
bahkan ibuku dan bapakku ketika mau
membaca tulisanku, Aku tak mengizinkan. dan Ternyata penulis sehebat Pipiet
Senja yang kelihatannya baik-baik saja itu,
juga memunyai penyakit, beliau harus rutin transfusi darah sepanjang
hidupnya. Tapi, walaupun beliau dalam keadaan sakit, beliau tetap menghasilkan
tulisan-tulisan yang bagus, dan memilii banyak penghargaan. Sedangkan Asma
Nadia, beliau adalah penulis buku, bahkan banyak bukunya yang sudah best
seller, Asma Nadia, yang awalnya kuliah di jurusan pertanian di IPB, beliau
juga harus berhenti kuliah dikarenakan sakit, tapi semangat Asma Nadia untuk
sembuh dan terus menulispun akhirnya berbuah manis, banyak penghargaan yang ia
peroleh dan beliau juga sudah keliling dunia, bahkan memiliki sebuah lembaga
sosial, Aku ingin seperti mereka, wanita-wanita tangguh yang bisa sukses,
mempunyai karya-karya, berguna bagi sesama, ah... tapi. Aku terlalu sakit.
Menurut hasil
pemeriksaan terakhir. Kata dokter, umurku tidak sampai setahun lagi, mungkin
hanya sepuluh bulan. Karena kanker kulitku merupakan jenis kanker yang
mematikan yang biasa disebut dengan Melanoma, dan kanker Melanoma
ini adalah kanker yang paling cepat menyebar ke seluruh tubuh. Sehingga orang
yang terserang kanker ini akan lebih cepat bertemu kematian. Apakah aku bisa
bertahan lebih lama lagi? Apakah itu mungkin? Bagi Allah tidak ada yang tidak
mungkin. Tapi kenyataannya, walaupun aku bisa menguatkan hatiku, tapi tubuhku
tidak bisa aku kuatan, ternyata kondisiku semakin memburuk, kulitku semakin
menjijikan saja, semakin membusuk dan semakin sakit, bahkan untuk keluar kamar
menemui sodara-sodaraku yang datang untuk menjengukku aku tak berani, Aku malu.
Tak kusangka,
teman-temanku yang aku kira sudah melupakan aku, ternyata mereka datang
menjengukku, ada teman-teman sekolahku, ada teman-teman kuliahku dulu.
Datangnya mereka kerumahku, bagai memberiku satu nyawa lagi untuk hidup, aku
hampir lupa kalau umurku tidak akan lama lagi, walaupun kondisi wajah dan
kulitku sangat menjijikkan seperti ini, untunglah mereka tidak risih denganku.
Malah ada temanku yang iseng-iseng buka laptopku, sebenarnya aku hampir marah,
tapi aku tidak punya alasan untuk marah. Sudahlah, mungkin ini saatnya orang
lain tau kalau aku mempunyai tulisan-tulisan kecil, walaupun itu tidak seindah
dan sepuitis para idolaku, toh ini kan hanya koleksi pribadiku saja.
Ternyata
teman-temanku menyukai sebagian tulisan-tulisanku, malah si Rahma temanku yang
tidak pernah menangis, ketika menonton Film dan baca Novel maupun cerpen atu
puisi yang sangat sedihpun ia tak pernah meneteskan air mata. Tiba-tiba,
setelah membaca puisiku yang berjudul “Tasbih Cinta Kesedihan”, yang mungkin
masih jauh dari sempurna ini, tiba-tiba ia menagis, dan berkata “sumpah,
puisimu bagus banget ra, perlu di
publikasikan ini” , sebenarnya aku terharu, ada temanku yang memuji hasil karyaku
ini, tapi aku pura-pura cuek saja, “ah,
Rahma, aku ini penulis amatiran, masih jelek, belum layak di publikasikan, dan
mungkin tidak akan pernah terpublikasikan” kataku pada rahma dan teman-temanku
yang lain.
Kemudian ada juga
temanku yang lain, namanya Salwa, dia bakat jadi penulis, bahkan ada beberapa
tulisannya yang sudah dimuat di media massa ada juga yang sudah di bukukan, dan
setelah ia membaca cerpenku yang berjudul “Lelaki Impianku” menurutnya cerpenku
bagus, dan katanya perlu di lombakan. Ah, bagiku mereka hanya membahagiakan
hatiku saja sebelum Aku mati, walaupun mereka juga tidak tahu kalau sebentar
lagi Aku akan mati.
Menjelang sore,
satu per satu temanku berpamitan pulang, sebenarnya Aku tidak mau mereka
pulang, pasti aku akan kesepian lagi, tapi mereka juga punya kehidupan
sendiri-sendiri. Aku juga punya kehidupan sendiri, kehidupan yang sebentar lagi
akan usai. Aku sadar, sebagai makhlukNya yang jauh dari sempurna dan mempunyai
banyak dosa. Sebelum mati, Aku harus memperbaiki diriku dulu, dengan cara
selalu mendekatkan diriku padaNya,
walaupun hanya dengan bertayamum ketika berwudlu, semoga Allah selalu
menerima ibadah hambanNya yang lemah ini, Alhamdulillah, sholat lima waktu
tidak pernah Aku tinggalkan, bahkan sholat malam dan sholat dhuhapun selalu ku
laksanakan, dalam setiap doaku, Aku
selalau memohon kepada Rabbku, agar Dia mengampuni segala dosa-dosaku, dosa
Ibuku dan Bapakku, Aku sudah ikhlas bila harus mati kapan saja, walaupun Aku
tidak tahu bagaimana kelanjutan hidupku di akhirat nanti, tapi ada hal yang Aku
takutkan, siapa yang akan merawat dan menjaga kedua orangtuaku nanti, ketika Aku
sadah pergi? Orangtuaku tidak mempunyai anak lagi selain Aku, mereka sudah tua,
umur Bapakku sudah setengah abad lebih, dan umur Ibuku juga hampir setengah
abad, bahkan sebentar lagi Aku akan pergi meninggalkan mereka.
Hari-hari yang
Aku lalui semakin bertambah buruk saja, kulitku semakin menjijikkan, kehidupan
keluarga kami semakin pas-pasan, kami jatuh miskin, karena sudah banyak harta
yang di jual demi kesembuhanku yang tak akan pernah sembuh. Aku heran, kenapa
orangtuaku rela jatuh miskin demi menyembuhkan Aku, padahal tidak lama lagi aku
akan mati, Aku takkan bisa membalas kebaikan orangtuaku. “Sudahlah buk, jangan
jual barang ataupun tanah lagi, Ibuk dan Bapak sudah banyak berkorban untukku,
Aku sidah ikhlas kalaupun harus mati”. Kataku pada Ibuku. Tapi ibu dan bapakku
tetap saja berjuang mati-matian agar Aku sembuh, padahal yang Aku harapkan hanyalah do’a dan keikhlasan dari Ibu Bapak, agar Aku tenang
di akhirat nanti, itu saja.
Hari kematianku
semakin dekat, dan aku terus menulis. Setidaknya walaupun Aku mati, tapi
tulisan-tulisanku tidak mati, walaupun hanya sebagian kecil saja yang tahu
tentang tulisanku, tak masalah. Aku tidak berniat untuk mempublikasikannya. Dan
Aku sudah berpesan kepada bapak dan ibuku agar mereka menyimpan
tulisan-tulisanku. Aku juga sudah bilang kepada bu Nyai, beliau boleh membaca
tulisan-tulisanku, bu Nyai kan lulusan sastra, barang kali beliau bisa
mengkoreksi hasil karya-karyaku.
Setelah
berhari-hari Aku berperang dengan sakit. Akhirnya hari kematianku tiba, hari
itu tepat hari jum’at, dimana Aku ingin bangun dari tidurku, tapi Aku tidak
bisa bangun, tubuhku lemas, kepalaku pusing sekali, dadaku sesak. Sangat sesak,
dan aku sadar ternyata hari ini adalah hari kematianku, ternyata prediksi
dokter benar, mungkin sekarang memang hari kematianku, tapi ternyata tidak,
dengan rasa sakit yang sangat menyiksa, orangtuaku membawaku ke rumah sakit,
sebenarnya Aku menolak untuk diajak ke rumah sakit, tapi tetap saja Aku dibawa
kerumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Aku mendapat perawatan yang cukup
intensif, tapi memang memang ini sudah takdirNya. Beberapa jam kemudian, dengan
diiringi rasa sakit yang begitu hebatnya dan juga di iringi malaikat Izrail
sang pencabut nyawa. Dengan genggaman tangan yang begitu erat dari ibu bapakku,
juga kalimat Tauhid dari mulutku yang begitu susah untuk aku lafadzkan, akhirya
aku pergi meninggalkan dunia ini untuk selamanya, selamat tinggal Ibu, Bapak,
selamat tinggal teman-temanku dan dengan sedih, aku mengucapakan selamat tinggal
kepada cita-citaku yang tak sempat Aku raih.
Beberapa minggu
setelah kematianku, Aku hidup sangat tenang di alam penantian, Allah
mengistimewakan Aku, setiap malam Aku selalu hadir melihat orangtuaku yang
sedang berdoa dan selalu mengirim doa untukku. Dan hal yang paling menakjubkan,
ternyata Salwa salah satu temanku itu, mengirimkan cerpenku untuk di ikutkan
lomba tingkat Nasional, yang diadakan langsung oleh kementrian Pemeberdaya
Perempuan dan Perlindungan Anak, ternyata sebelum hari kematianku tiba, Salwa
mengirimkan cerpenku. Dan hari ini, setelah tiga minggu kematianku, pengumuman
lomba tersebut diumumkan.
Aku tidak
menyangka sama sekali, aku terpilih menjadi pemenangnya, Aku mendapat juara
pertama, dan mendapatkan hadiah yang sangat membahagiakan, selain mendapatkan
trophy dan uang sebesar 50 juta, Aku juga berkesempatan mengunjungi negara
Turki, bersama dengan penulis favoritku Asma Nadia dan beberapa penulis lain,
sayang itu semua tidak bisa aku lakukan. Dengan berlinang air mata. Ibuku menerima
hadiah tersebut, mewakili Aku sang pemenangnya yang sudah mati. Aku bahagia
sekaligus sedih, alasan Aku bahagia karena Aku menang lomba, walaupun tidak
pernah ikut lomba, dan walaupun Aku sudah mati, tapi karya-karyaku masih abadi,
dan tulisan-tulisanku yang lain juga akan di bukukan oleh salah satu penerbit.
dan alasanku sedih adalah, Aku tidak bisa merasakan secara nyata kebahagiaanku
itu, dan kesedihanku yang lain ialah, Aku tidak bisa mengungkapkan rasa cintaku
pada kakak tingkatku itu, bahkan hingga sekarang Aku mati, Aku juga tidak bisa
memilikinya. (the end)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar