Kamis, 12 Desember 2013

hati hati dengan hati



Kalau tak mampu MENCINTAI, jangan pernah sentuh hati seseorang..
Kalau tak mampu SETIA, jangan pernah mengukir janji..
Kalau tak mampu MENGGENGGAM HUBUNGAN, jangan pernah beri harapan..

Karena HATI MANUSIA itu...

Terlalu BERNILAI untuk DISAKITI, terlalu MAHAL untuk DISIA-SIAkan dan terlalu BERHARGA untuk DIHANCURkan.


Peringatan untuk DIRIsendiri.. Hati2lah dalam memberi HATI, sebab ia hanya untuk insan yang tahu MENGHARGAI betapa tingginya nilai sekeping HATI..

Hati2 membawa hati lebih baik menata hati !!!

Kamis, 21 November 2013

FILSAFAT ILMU : TEORI TOERI KEBENARAN



                                                                                BAB I
                                                   PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang Masalah

Kebenaran merupakan suatu hal yang menjadi landasan atau dasar kita untuk bertindak dan berpikir. Apakah kebenaran yang kita anggap benar itu merupakan sesuatu kebenaran hakiki ataupun suatu kebenaran relative, tetap saja kita memerlukan kebenaran dalam membaca kehidupan ini. Dalam ilmu pengetahuan, kebenaran diperoleh dengan cara metode ilmiah. Untuk menemukan dan merumuskan sebuah teori atau rumus, harus sampai pada kebenaran yang benar-benar valid. Filsafat dipahami sebagai suatu kemampuan berfikir mengguakan rasio dalam menyelidiki suatu objek atau mencari kebenaran yang ada dalam objek yang menjadi sasaran. Kebenaran itu sendiri belum pasti melekat dalam objek. Terkadang hanya dapat dibenarkan oleh persepsi-persepsi belaka, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai universal dalam filsafat.[1]




B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Teori Kebenaran?
2.      Menyebutkan dan Menjelaskan Teori-Teori Kebenaran?


C.     Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian Teori Kebenaran
2.      Memahami Teori-Teori Kebenaran






                                                  BAB II
                                          PEMBAHASAN

A.    Pengertian  Kebenaran dan Kaitannya

Dalam kamus umum bahasa indonesia, yang ditulis oleh Purwadarminta menjelaskan bahwa kebenaran adalah : 1). Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya), misalnya, kebenaran berita ini masih saya ragukan, kita harus berani membela kebenaran dan keadilan; 2). Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya, dan sebagainya), misalnya kebenaran yang diajarkan oleh agama; 3). Kejujuran, kelurusan hati, misalnya tidak ada seorangpun sanksi akan kebaikan dan kebenaran hatimu; 4). Selalu izin, perkenanan, misalnya dengan kebenaran yang dipertuan; 5). Jalan kebetulan, misalnya penjahat itu tidak dapat dibekuk dangan secara kebenaran saja.[2]

Kata "kebenaran" dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkrit maupun abstrak (Abbas Hamami, 1983). Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement.[3]

B.     Teori-teori Kebenaran

1.      Teori kebenaran Proposisi
Proposisi adalah pernyataan tentang hubungan yang terdapat diantara dua term. Ada tiga hal pokok dalam suatu proposisi, yaitu: subyek, predikat, kopula(tanda). Penghubung antara subyek dengan predikat adalah tanda atau sering disebut kopula. Contoh: “setiap manusia adalah tidak kekal” term “setiap manusia” adalah subyek, dan term “tidak kekal” adalah predikat, sedangkan adalah merupakan kopula. Kalimat tersebut dlihat dari struktur kalimatnya sempurna, serta maknanya benar. Berarti kalimat tersebut Proposisi. [4]
Tapi jika kalimat tersebut diubah sedikit saja, bisa berarti tidak proposisi lagi, alasannya karena sisi maknawiyahnya tidak ada. Contoh “setiap manusia adalah kekal”. Ini bukan proposisi lagi, sebab kenyataannya tidak sesuai dengan kondisi manusia.

Dari gambaran tersebut terlihat jelas bahwa logis dan tidaknya teori filsafat akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan atau teori tersebut. Oleh karena itu, fungsi argumen sangat penting, sama pentingnya fungsi data pada ilmu pengetahuan. Karena argumen akan menjadi satu kesatuan dengan konklusi, konklusi itulah yang disebut teori filsafat. Bobot kebenaran teori filsafat terletak pada kekuatan argumen, bukan pada kehebatan konklusinya.


2.      Teori kebenaran Koherensi

Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Jadi, suatu pernyataan dianggap benara apabila pernyataan-pernyataan terseut dalam keadaan saling berhubungan dengan pernyataan-pernyataan lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. Dengan kata lain suatu proposisi itu benr jika mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi  yang telah ada dan benar adanya. Contoh: semua manusia akan mati adalah pernyataan yang selama ini memang benar. Jika Siti adalah manusia pasti akan mati, merupakan pernyataaan yang benar pula. Sebab pernyataan kedua, konsisten dengan pernyatan yang pertama.[5]
Contoh lain: Seluruh mahasiswa PAI, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan UIN Sunan Kalijaga mengikuti perkuliahan Filsafat Ilmu. Ahmad adalah mahasiswa PAI, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan UIN Sunan Kalijaga. Jadi, Ahmad harus mengikuti kegiatan perkuliahan Filsafat Ilmu.

3.      Teori Kebenaran Korespondensi
Menurut teori ini, suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi(berhubungan) dengan objek yang dituju oeh pernyataan tersebut. Pernyataan itu benar karena ada kesatuan yang Intrinsik, intensional terdapat kesesuaian antara yang ada di dalam pengetahuan subjek. Jadi kebenaran itu adalah kesesuaian daengan fakta, keselarasan dengan realitas, dan keserasian dengan situasi aktual.[6] Contoh : Propinsi Jawa Tengah berada di pulau Jawa, pernyataan itu benar karena sesuai dengan kenyataan atau realitas yang ada.  Tidak benar jika propinsi Jawa Tengah berada di Pulau Kalimantan ataupun Papua, karena kenyataannya  Jawa Tengah berada di Pulau Jawa.
           
4.      Teori Kebenaran Pragmatik/Pragmatisme
Menurut teori ini, suatu Proposisi bernilai benar apabila mempunyai konsekuensi yang dapat dipergunakan atau bermanfaat. Kattsof(1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini adalah penganut Pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman, pernyataan itu adalah benar. Contoh: seseorang naik bis, kemudian akan turun dan bilang kepada kondektur “kiri”, kemudian bis akan berhenti di posisi kiri. Dengan berhenti di posisi kiri, penumpang tersebut bisa turun dengan selamat. Jadi mengukur kebenaran tidak dilihat karena Bis berhenti di posisi kiri, tapi penumpang bisa turun dengan selamat karena bis berhenti di posisi kiri.[7]




5.      Teori kebenaran Performatif

Menurut Lacey A.R, yang dikutip oleh Ali Mudhofir, menjelaskan bahwa teori kebenaran performatif menekankan pada kata “benar”. Maksud dari kata tersebut ialah jika suatu ungkapan dipandang benar dapat diwujudkan dalam bentuk tindakan konkrit. Sebaliknya akan menjadi tidak bermakna apabila tidak sesuai dengan realitanya. Contohnya, seseorang mengatakan “ saya bisa membaca al-quran”. Ketika kemudian orang tersebut diberi al-quran ataupun juz amma, kemudian orang tersebut disuruh membacanya dan ternyata bisa, maka pernyatannya “benar”(secara performati). Tapi ucapan itu tidak akan bermakna apabila orang tersebut tidak bisa membacanya.[8]

6.      Teori kebenaran Struktural Paradigmatik
Menurut lichtenberg, yang dikutip oleh Noeng Muhadjir, menyatakan bahwa bisa terdapat hubungan struktural pada berbagai hal yang sifatnya konstan dan dalam domein disiplin ilmu yang beragam.[9] Contohnya, ketika seseorang membahas tentang perhitungan hari, maka tidak akan lepas dari pembahasan peredaran bumi yang menjadi wilayah astronomi dan perhitungan yang menjadi wilayah matematika, Antara keduanya (matematika dan astronomi) jelas berbeda disiplin ilmunya, namun secara struktural keduanya tidak dapat dipisahkan fungsinya. Hubungan itulah yg disebut paradigmatik.[10]







                        BAB III
                      PENUTUP
           

A.    Simpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam menemukan kebenaran manusia berbeda-beda dalam metode dan cara berfikirnya, sehingga muncullah teori-teori kebenaran yang bermacam-macam. Seperti Proposisi, korespondensi, koherensi, pragmatik, performatif, struktural paradigmatik dll. Teori- teori diatas adalah cara-cara manusia dalam menemukan kebenaran yang sifatnya relatif. Kebenaran yang sejati hanyalah milik Allah swt yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu, yang kemudian oleh manusia dipelajari dan di observasi untuk kebaikan umat manusia itu sendiri.(waallahu ‘alam bishawwab)


B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini, tentu masih sangat banyak kesalahan dan kekurangan, untuk itu penulis mengharap saran dan kritik yang membangun dari para pembaca, agar kedepannya penulis dapat lebih baik dalam menulis makalah. Semoga makalah ini bissa bermanfaat bagi kita semua













Daftar Pustaka


Adib, Muhammad. 2010.“Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan”. Yogyakarta: Pusataka Pelajar.
Bachri ghazali dkk. 2005. Filsafat Ilmu. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta:Pokja akademik UIN Sunan Kalijaga
Surajiyo.2007.  Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia Suatu Pengantar. Jakarta:Bumi Aksara
Susanto A. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologi. Jakarta:Bumi Aksara














[1] Moh. Adib. “Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan logika ilmu pengetahuan”.(Pusataka Pelajar:Yogyakarta:2010) hal: 117
[2] A. Susanto.Filsafat Ilmu:Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis...(Bumi Aksara,Jakarta:2011)hlm 86
[3] Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia Suatu Pengantar.(Bumi Aksara, Jakarta:2007) hlm 103
[4] Bachri ghazali dkk., Filsafat Ilmu.(Pokja akademik UIN Sunan Kalijaga:2005) hlm 74-75
[5]A. Susanto. Filsafat Ilmu:Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,...(Bumi Aksara,Jakarta:2011).hlm 86-87
[6] A. Susanto. Filsafat Ilmu:Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,.(Bumi Aksara,Jakarta:2011).hlm 87
[7] Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia Suatu Pengantar(Bumi Aksara, Jakarta:2007) hlm  106
[8] Bachri ghazali dkk. Filsafat Ilmu.(Pokja akademik UIN Sunan Kalijaga:2005) hlm 87
[9] Ibid hlm 84